Muhammad Yunus peraih hadiah Nobel Perdamaian 2006 pernah mengatakan “Kampus terlalu arogan dengan teori-teorinya. Kaum akademisi ibarat menara gading, menjulang ke langit dan terbuai dengan ilusi-ilusi teoritis. Sangat sedikit dari intelektualnya yang mau turun ke grass root untuk hidup di realitas sosial masyarakatnya”.
Sepakat dengan itu, ketika melihat kondisi manusia yang mempunyai beragam lapisan-lapisan jenis, tempat, kelompok, golongan, pekerjaan, jabatan, dan lain sebagainya. Siapapun mereka, awalnya tentunya dibentuk dan tumbuh dari proses panjang mulai dari dilahirkan hingga mereka tumbuh dengan proses penempaan dengan kondisi sosial, pendidikan, hingga aktualisasi potensi menuju beragam lapisan-lapisan tersebut di masyarakat. Manusia-manusia berkualitas bisa muncul dari mana saja.
Namun pada prosesnya untuk membentuk human capital dan human development yang unggul dan mandiri negara juga harus bertanggung jawab untuk mendidik masyarakatnya. Perguruan tinggi ataupun kampus tentunya adalah pintu gerbang bagi masyarakat untuk memasuki dunia nyata, mendapatkan pengetahuan secara luas, pencarian jati diri, dan pembentukan profesionalitas keilmuan yang lebih mendalam.
Perguruan tinggi melalui Tri Dharma nya (pendidikan dan pengajaran, Penelitian dan pengembangan, serta Pengabdian pada masyarakat) melalui tiga aspek ini perguruan tinggi diamanahkan sebagai institusi pendidikan yang memiliki tugas untuk mencerdaskan generasi anak bangsa, melalui penelitian dan pengembangan dapat memunculkan inovasi-inovasi baru dan SDM yang unggul, hingga pengabdian untuk megimplementasikan ilmu untuk kesejahteraan masyarakat. Melalui Tri Dharma perguruan tinggi inilah diharapkan lahirnya kaum intelektual yang mencerahkan, cerdas, kreatif, inovatif, mampu membangun kesadaran masyarakat, penggerak sosial dan menjadi pemimpin masa depan yang berkarakter.
Namun tidak seperti yang kita bayangkan, pada realitas yang ada kampus justru mengalami disrupsi yang bobrok. Kampus yang harusnya mampu membentuk SDM berkualitas dan kaum intelektual yang mencerahkan. Namun yang ada kampus malah bertindak sebagai pabrik yang beroperasi sebagai industri penghasil sarjana massal, mahasiswa dipenjara melalui ruang kuliah ke ruang kuliah, mahasiswa di cengkoki dengan teori demi teori, kompetensi, minat dan bakat mahasiswa serta tujuan utuh pendidikan dan keberadaan mahasiswa bahkan menjadi hilang esensinya, suksesi perkuliahan dinilai hanya dari IPK saja, Ego anak didik dibangun untuk menyelamatkan diri agar tak turun akreditasi.
Akibatnya potensi mahasiswa sebagai multi inteligence kaum perubahan, kontrol sosial, dan kaum intelektual yang mencerahkan bangsa menjadi terabaikan. Mahasiswa diajarkan budaya instan, minat bakat menjadi termatikan, potensi kecerdasan manusia berupa intellectual quotient (IQ), emotional quotient (EQ) dan Spiritual quotient (SQ) tidak berkembang dengan baik. Akibatnya mahasiswa di dorong hanya untuk sekedar menyelesaikan kuliah dengan cepat, mahasiswa digiring untuk menjadi mesin dan kuli bagi tuan nya, berebut dan berlomba-lomba mengisi ruang-ruang lapangan kerja yang semakin sulit. Tanpa sadar akibatnya SDM yang di cetak oleh industri kampus malah memiliki kesadaran yang tertanam bahwa materi (uang)-lah yang menjadi satu-satunya tujuan melanjutkan hidup setelah menyelesaikan gelarnya di bangku kuliah. Wajar jika mentalitas yang dihasilkan dari kampus adalah mentalitas hedonisme dan pragmatisme.
Bayangkan jika beragam lapisan-lapisan jenis, tempat, kelompok, golongan, pekerjaan, jabatan, dan lain sebagainya itu di isi oleh orang-orang bermentalitas bobrok hasil dari didikan kampus. Bahkan pada dunia pendidikan saja jika mentalitas itu terus terwariskan dan dipertahankan. Bayangkan saja jika pendidik misalnya guru atau dosen mengidap penyakit mentalitas serupa yang diisi oleh hedonisme. Maka untuk memenuhi personal interest nya kemudian muncul beragam cara untuk menghasilkan materi (uang) yang lebih banyak, haus akan jabatan yang lebih tinggi, dengan berbagai upaya bahkan hasil karya penelitian mahasiswa pun di klaim untuk menjadi karyanya demi mempercepat mendapatkan gelar doktor atau professor agar penghasilan menjadi lebih besar.
Kemudian bayangkan juga jika pendidik misalnya guru atau dosen mengidap penyakit mentalitas pragmatisme yang menganggap dirinya adalah satu-satunya kebenaran bagi mahasiswa. Mahasiswa diajarkan bahwa kebenaran mutlak hanya dimiliki oleh dosen, mahasiswa tak boleh mengkritik, mereka diajarkan cukup datang dan mendengarkan ceramah dan seminar, kemudian pulang lalu mengerjakan tugas.
Begitulah keadaan sebagian dosen yang telah mengidap penyakit serupa, mahasiswa tak lagi diberi arahan untuk turun ke masyarakat, duduk dan bersosialisasi agar mengetahui berbagai pandangan, pengetahuan dan pengembangan apa yang dibutuhkan masyarakat melalui pendidikan. Apakah teman-teman sadar bahwa ideologis pendidikan kita mungkin sudah semakin jauh tersesat?
Berkaca dari pendidikan dan sistem kampus yang kita jalani saat ini, ibarat pendidikan adalah gerbang menuju dunia profesionalitas yang nyata menuju masyarakat dan bangsa. Tentunya semua hal ini mempunyai kaitan yang lebih luas, bayangkan jika SDM yang bermentalitas bobrok itu kemudian setiap tahun nya muncul dan terlahir ke permukaan masyarakat dan melanjutkan hidup menuju dunia profesi, pekerjaan, akademisi, politik, pemerintahan, bisnis, dan sebagainya. Maka apa jadinya negeri ini di tangan mereka? Bahkan mungkin kita sudah mulai merasakan bahwa lapisan-lapisan jenis, tempat, kelompok, golongan, pekerjaan, jabatan, politik, pemerintahan, dan lain sebagainya itu mungkin sudah terisi dengan orang-orang bermentalitas bobrok tersebut. Maka bersiaplah menghadapi dunia yang penuh dengan kebobrokan di negeri kita.
Dimulai dari kampus yang bertujuan sebagai tempat pendidikan, namun jika sistemik ini terus dijalankan maka mentalitas pragmatisme dan hedonisme akan terus mengakar dan menyebar. Tanpa kita sadari kampus sebagai tempat pendidikan berubah fungsi menjadi supplyer utama pembentuk perampok intelektual (koruptor) di negeri kita.
Fungsi Tri Dharma perguruan tinggi pun tidak akan bisa berjalan sempurna jika sistemik yang sudah ditulari virus mentalitas kebobrokan ini masih bertahan dan terus ada, rasionalisasi otak untuk mendapatkan nilai lebih dalam hal materi, jabatan, kekuasaan untuk kepentingan diri, keluarga, dan kelompok akan menyebabkan belenggu ini semakin panjang.
Maka diperlukan sebuah kesadaran dari kita semua untuk mulai merubah diri dan memperbaiki sistem yang tidak baik ini. Karna seperti apa yang disampaikan oleh Prof. Yusril Iza Mahendra bahwa “Dalam sistem yang kuat orang jahat dipaksa menjadi baik, namun sebaliknya dengan sitem yang buruk orang baik akan dipaksa menjadi menjadi jahat”.
Dalam filosofi pendidikan Islam, rasionalitas (otak) dan spiritualitas (hati) merupakan esensi utama dari sisi kemanusiaan. Dua hal ini yang membedakan manusia dengan binatang. Dua hal ini juga yang menjadikan manusia sebagai pemimpin yang memiliki kesadaran tinggi (khalifatullah). Namun perlu disadari kita juga tidak bisa sepenuhnya berharap dengan pendidikan atau pun kampus untuk membentuk perangkat kemanusiaan itu di dalam diri. Maksimalisasi kedua perangkat ini sebenarnya dapat dicapai melalui pendidikan kesadaran diri, pengembangan watak, moral, etika, dan karakter yang baik.
Kita sadari juga bahwa kampus sekarang juga tidak sepenuhnya mampu memaksimalkan seluruh potensi anak didiknya. Foucault, M. (1972) menyebutkan bahwa “Peran kaum intelektual tidak lagi menempatkan dirinya agak didepan dan disamping untuk mengungkapkan kebenaran kolektivitas yang tertahan. Sebaliknya, perjuangan melawan bentuk-bentuk kekuasaan yang mengubahnya menjadi objek dan instrument dalam bidang pengetahuan, kebenaran, kesadaran dan wacana”.
Melihat sejarah, bahwa kampus memang tidak sepenuhnya mampu mengakomodir kebutuhan keintelektualan mahasiswa secara penuh. Dimulai dari kemauan untuk membebaskan pikiran dari keterbatasan ruang-ruang kelas, mulai berinovasi, berkreativitas, mencurahkan isi pikiran (berdialektika), menciptakan forum-forum diskusi, kajian, dan berbagi narasi sampai membentuk kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan. Hingga kemudian pada akhirnya sejumlah mahasiswa kemudian mulai membangun instrument gerakan-gerakan intelektual (intellectual nomadism) berbentuk organisasi diluar kampus.
Dalam sejarah negara indonesia kebesaraan nama mahasiswa tercatat sebagai perangkat penting penggerak perubahan dan sebagai enlightened intellectuals yang nyata. Keintelektualan mahasiswa terbukti dengan adanya jejak histori yang terjadi. Seperti rezim orde lama yang runtuh oleh gerakan mahasiswa tahun 1966, rezim orde baru soeharto yang juga runtuh karna gerakan mahasiswa, bahkan gusdur harus meninggalkan istana juga disebut-sebut sebagai gerakan intelektual-politik “HMI Connection” 2001.
Hingga hari ini banyak sekali organisasi-organisasi mahasiswa diluar kampus yang telah tercipta dan ini ada berkat gerakan-gerakan intelektual masa silam. Beberapa diantaranya mungkin juga tidak asing lagi kita dengar ditelinga kita seperti HMI, PMII, SEMMI, IMM, GMNI, GMKI dan lain sebagainya. Organisasi diluar kampus dulunya dikenal dengan kumpulan-kumpulan mahasiswa enlightened intellectuals yang bersatu sebagai akademisi pencipta, pengabdi, serta dekat dengan segala permasalahan masyarakat dan hadir sebagai kontrol sosial dan agen perubahan bagi bangsa.
Sangat disayangkan jika hari ini di tubuh organisasi luar kampus yang dulunya tercipta dan di prakasai gerakan intelektual yang membentuk instrumen berjuang. Kini banyak organisasi luar kampus yang kadernya memprakasai gerakan-gerakan tambahan hanya untuk dekat dengan pejabat, menggadaikan kepentingan demi mendapat uang tambah, berorganisasi hanya untuk berpolitik, mempertahankan kekuasaan dan menambah relasi demi kepentingan diri ataupun kelompok, yang dulunya beberapa organisasi bergabung demi kepentingan rakyat, saat ini jotos-jotosan, perpecahan, dualisme hingga saling sikut dan konflik sesama organisasi pun adalah hal yang sudah di anggap biasa dan lumrah terjadi.
Apa daya jika kemerdekaan negara yang telah diperjuangkan oleh pahlawan-pahlawan kita dulu. Akhirnya menjadi penjara bagi nalar kepedulian sesama kita hari ini, pragmatisme tumbuh berkembang dimana-mana disetiap tempat, sudut dari penjuru nasional hingga daerah dan desa-desa yang ada. Kepentingan instrumen negara pada akhirnya hanya berpihak bagi kepentingan penguasa bahkan seringkali kekuasaan adalah senjata makan tuan untuk rakyat, bahkan di beberapa kasus penguasa seperti sudah menganggap rakyatnya menjadi musuh hanya untuk kepentingan dan keuntungan penguasa (investasi) yang katanya demi rakyat tapi malah lebih berpihak ke asing (investor) dari pada rakyat nya sendiri. Tanah milik rakyat di jajah oleh penguasa, rakyat di usir dari tanah nya sendiri lalu kaum intelektual kemana, mahasiswa sekarang bisa apa?
Anggap saja jika ini terus dibiarkan berlanjut kemungkinan kita tinggal menunggu kehancuran didepan mata. Era perubahan yang serba digitalisasi ini memang membuat semua nya berubah, ditambah dengan melimpahnya populasi usia generasi muda lebih banyak (bonus demografi) semua berlomba-lomba menjadi pragmatis demi memperjuangkan kehidupan sejengkal perut nya masing-masing. Apa daya memang? modernisasi saat ini adalah kondisi paling sulit bagi generasi muda untuk melawan diri agar tak tertinggal oleh kemajuan zaman, sehingga kaum intelektual hari ini bukan lagi milik rakyat tapi milik kaum yang sanggup membayar kaum intelektual.
Tulisan inio oleh Dwi Setiawan – Founder Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa/Presiden Mahasiswa Universitas Samudra 2021-2022/Kader HMI Cabang Langsa/ Email: dwisetiawan1998@gmail.com
Leave a Reply