Julukan “Serambi Mekkah” Masih Relevan kah ?

Serambi Mekkah

Serambi Mekkah yang dikaitkan dengan Julukan untuk Aceh mungkin sudah tidak asing lagi terdengar di telinga kita selama ini. Pemberian Julukan Seuramo Mekkah (Serambi Mekkah) sudah dimulai sejak masa kepemimpinan pemerintahan Sultan Iskandar Muda pada permulaan abad ke-17. Masa itu pengaruh agama dan nilai-nilai kebudayaan Islam begitu besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Aceh, bahkan disampaikan dalam catatan sejarah bahwa Aceh mencapai masa kejayaan nya saat itu dibawah naungan Kesultanan Aceh.

Secara historis juga dikatakan bahwa Aceh merupakan daerah perdana masuknya Islam ke nusantara melalui Kawasan Pantai Timur, Peurelak dan Pasai. Sejak itu Islam berkembang sangat cepat ke seluruh nusantara bahkan sampai Philipina. Dalam hal kemajuan dunia pendidikan, saat itu Aceh dikenal juga sebagai epicentrum atau kiblat nya ilmu pengetahuan di Nusantara.

Saat itu aceh memiliki Jami’ah Baiturrahman (Universitas Baiturrahman) yang sudah memiliki berbagai macam “Daar” (kalau disetarakan, ini sama dengan fakultas sekarang), guru-guru besar yang mengajar di jami’ah tersebut pun selain dari pada ulama-ulama di Aceh, banyak juga yang di datangkan dari negeri luar seperti Arab, Turki, Persia dan India yang ada di dalamnya.

Ada 17 “Daar” yang ada di ibukota negara saat itu, yakni :

  1. Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits),
  2. Daar al-Thibb (Kedokteran),
  3. Daar al-Kimya (Kimia),
  4. Daar al-Taarikh (Sejarah),
  5. Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti),
  6. Daar al-Siyasah (Politik),
  7. Daar al-Aqli (Ilmu Akal),
  8. Daar al-Zira’ah (Pertanian),
  9. Daar al-Ahkaam (Hukum),
  10. Daar al-Falsafah (Filsafat),
  11. Daar al-Kalaam (Teologi),
  12. Daar al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan),
  13. Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara),
  14. Daar al-Ardhi (Pertambangan),
  15. Daar al-Nahwi (Bahasa Arab),
  16. Daar al-Mazahib (Ilmu-ilmu Agama) dan
  17. Daar al-Harbi (Ilmu Peperangan).

(Baca di: Dayah : Sejak Sultan Hingga Sekarang). Begitulah bayangan pendidikan di Aceh masa itu, sultan dan ulama memegang peranan penting untuk memajukan pendidikan sehingga banyak cendekiawan-cendekiawan yang lahir dari Aceh saat itu.

Dalam bidang kemaritiman Aceh juga pernah menjadi pangkalan (pelabuhan) bagi jamaah haji dari seluruh nusantara sehingga Aceh menjadi tempat persinggahan bagi jemaah haji dulunya. Saat itu Aceh mendapat pengakuan dari Syarif Makkah atas nama khalifah Islam di Turkey bahwa kerajaan Aceh adalah “pelindung” bagi kerajaan-kerajaan islam lainnya di nusantara.

Begitu besar nya kejayaan Aceh masa silam sehingga wajar jika Aceh saat itu di juluki sebagai Seuramo Mekkah (Serambi Mekkah), namun sejalan dengan berjalannya waktu banyak hal yang sudah berubah hingga saat ini. Kondisi Aceh hari ini sudah sangat memperihatinkan, nilai-nilai untuk menyandang julukan “Serambi Mekkah” mulai memudar dari masa ke masa.

Bahkan di sebagian kalangan ini sudah menjadi pertanyaan kontradiktif, masih layak kah Aceh menyadang julukan ini? Hingga hari ini pun sangat banyak sekali persoalan-persoalan yang terjadi, Aceh yang dulu nya di juluki Seuramo Mekkah (Serambi Mekkah) sudah tak Seuramo Mekkah lagi, Aceh yang dulu nya pernah disebut istimewa sekarang sudah tak istimewa lagi.

Sampai hari ini pun masih banyak dari kita semua yang masih saja terus bersembunyi dibalik punggung bayang-bayang kejayaan Aceh masa lampau itu, membusungkan dada dan berkata dengan congkak “Aceh ini bangsa yang hebat”.

Jika itu pun benar kita ini hebat, lantas kehebatan apa yang bisa kita lakukan saat ini? apakah kita harus bangga dengan pencapaian peringkat termiskin se-Sumatera kita saat ini? apakah kita harus bangga dengan pencapain peringkat pendidikan kita yang buruk saat ini? apakah kita harus bangga dengan pencapaian kita sebagai provinsi dengan banyaknya kasus kekerasan seksual belakangan ini? peredaran narkoba yang masih cukup marak, judi online pun masih belum sepenuhnya terselesaikan dan masih banyak lagi interpretasi kebobrokan lainnya yang ada dan jika itupun harus ditulis maka bisa saja tak akan selesai-selesai tulisan ini.

Namun sepakat seperti perkataan seorang Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun sampaikan “kita harus move on, tak bisa lagi berjualan MoU Helshinki dan sejarah”. Maka oleh sebab itu jalan yang harus kita tempuh kedepan adalah tak boleh lagi terjebak menjadi penonton kisah hebat masa lalu itu.

Kedepan kita harus memulai gerak untuk jadi perubah agar Aceh ini bisa kembali berjaya dan hebat. Tulisan ini dibuat tidak bertujuan untuk memotivasi agar kita semua melupakan sejarah, namun dengan tulisan ini semoga ada kesadaran yang muncul bahwa sejarah harus terus diwariskan ingatannya nya, namun mulai hari ini jadikan sejarah masa lampau itu sebagai pengingat kita untuk bisa maju lebih baik.

Tulisan ini oleh Dwi Setiawan – Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa. Email: dwisetiawan1998@gmail.com

Slide Up
x
adbanner