Kampus Kehilangan Tradisi Perlawananya ?

Kampus

Kampus adalah sebuah tempat berkumpulnya mahasiswa-mahasiswa intelektual, Mahasiswa yang menjadi harapan ujung tombak penggerak suatu bangsa, mahasiswa yang memegang beban moral dapat membawa kesejahteraan bagi ketempurukan rakyat menuju perubahan.

Mengingat sejarah perjalanan panjang bangsa kita Indonesia, tidak dapat kita pungkiri bahwa, mahasiswa mempunyai banyak ambil adil dan memiliki peran penting dalam membebaskan rakyat dari pemimpin yang tidak bermoral, pemimpin yang bersekutu dengan kaum-kaum elit dan kapitalis sehingga rakyat menjadi korbannya.

Kita bisa lihat contoh pergerakan mahasiswa yang luar biasa yaitu perjuangan dan pengorbanan mahasiswa pada tahun 1998, mahasiswa berkumpul dengan gagah dan berani, melawan rezim yang otoriter anti kritik dan kebijakannya tidak berpihak kepada rakyat, pada saat itu mahasiswa turun kejalan untuk melawan.

Namun melihat realita yang terjadi saat ini jauh sangat berbeda, kampus sudah kehilangan tradisi perlawanannya, perkembangan zaman nampaknya sudah mengikis kebudayaan kritis dan sudah menggerogoti idealisme mahasiswa, sehingga takut dan mandul budaya diskusi untuk mengkaji kebijakan pemerintah yang tidak pro terhadap rakyat.

Semakin hari mahasiswa semakin mengalamin kemunduran moral yang sangat pesat, banyak mahasiswa sekarang hanya membuang-buang waktu dengan hal-hal tidak bermanfaat, main game, mabuk-mabukan, tawuran antar fakultas, nongkrong di warung kopi berjam-jam.

Kalaupun ada mahasiswa yang cerdas, mahasiswa zaman sekarang sudah kehilangan independensinya gampang tergiur oleh tawaran-tawaran pemerintah, sehingga ia menggunakan kecerdasannya untuk membela pemerintah, seakan ia sudah amnesia lupa akan tugas dan tanggung jawabnya sebagai mahasiswa.

Ribuan mahasiswa di Indonesia hanya sedikit saja yang faham akan tugas dan tanggung jawabnya, terutama dalam memahami nilai-nilai perjuangan, ini adalah sebuah kenyataan pahit yang harus kita terima melihat mahasiswa sekarang yang sudah pengecut dan takut terhadap pemerintah.

Organisasi mahasiswa sekarang hanya dipenuhi dengan orang-orang yang mencari atribut pdh, eksistensi, power sindrom sama adek kelas, mereka membuat diri mereka terlihatan sibuk, padahal tidak melakukan apa-apa, organisasi yang cuman menghabiskan anggaran dan tidak melakukan hal-hal yang bermanfaat.

Mahasiswa organisasi sekarang hanya terpaku dengan aksesoris, kemanapun mereka pergi selalu mengenakan baju bermotif aktivis, tidak peduli mau itu kekampus, kegunung, kepantai atau ketempat lainya. Seolah mereka ingin memperlihatkan keorang lain bahwasanya mereka aktivis, namun kenyataannya mereka tidak pernah terlibat dalam perjuangan apapun.

Miris rasanya melihat mahasiswa sekarang yang mandul dan vakum terhadap pergerakan untuk berjuang demi rakyat, mahasis yang miskin ilmu dan krisis pengetahuan, sehingga jauh dari kata mampu membebaskan rakyat dari cengkraman kaum-kaum elit politik yang kontra akan kepentingan masyarakat.

Seharusnya beban moral mahasiswa yang dikenal sebagai The Agent of Change benar-benar membawa perubahan yang nyata bagi masyarakat kearah kebaikan, bukan malah sebaliknya membawa keperubahan kearah kesengsaraan diam membisu takut terhadap pemerintah yang zhalim.

Apalagi yang mau kita harapkan dari sebuah kampus yang mahasiswanya kehilangan tradisi perlawanannya, kalau tradisi perlawanannya hilang maka budaya intelektualnya juga hilang, intelektual sebagai pemikir mengkaji untuk melawan ditaktor, melawan ketidak adilan, melawan pemerintah yang otoriter.

Kampus akan menjadi sunyi karena diisi oleh orang-orang pengecut, pecundang sehingga mandul akan melakukan perjuangan dan perlawanan mereka hanya diam, menjadi mahasiswa penurut, apa-apa serba takut, mahasiswa yang hanya mengejar angka sehingga takut apabila diancam dengan kata nilainya akan diberikan jelek.

Mahasiswa sekarang pengecut jangankan untuk melawan pemerintah, melawan dekan dan rektor saja tidak berani, fasilitas yang kurang hanya diam, UKT yang membekak juga hanya diam, menuruti dan terus membayar tidak ada niatan buat mogok bayar UKT dan melakukan perlawanan untuk beraudiensi meminta pengurangan UKT.

Seolah sudah kehilangan akal menuruti membayar UKT yang terus meningkat apakah mereka tidak memikirkan orang tuanya yang mati-matian untuk membayarnya, tapi lagi-lagi pemikiran mahasiswa sekarang yang sudah rapi dan penurut, mereka takut untuk melawan karena ancaman nilai.

Manakah nilai yang lebih baik nilai disebuah kertas atau nilai moral yang ada diri mahasiswa, buat apa hanya fokus mengkejar nilai akademi kalau kualitas diri hancur karena takut dengan orang-orang yang tidak berlaku adil.

Lebih baik tidak ada kampus sama sekali kalau produk yang dihasilkan hanya robot penurut, orang-orang yang terpaku pada nilai kertas saja, tapi buta akan tujuan awalnya sebagai pembawa perubahan bagi kesejahteraan masyarakat.

 

Tulisan ini oleh Danu Abian Latif – Founder Sekolah Kita Menulis (SKM) Cabang Langsa

Slide Up
x
adbanner