Rempang Eco City merupakan proyek pengembangan pembangunan Pulau Rempang, Kota Batam. Proyek ini masuk dalam daftar Proyek Startegis Nasional (PSN) tahun 2023 sesuai dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 tentang perubhan Ketiga Atas Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2021 tentang Perubahan Daftar Proyek Strategis Nasional.
Namun, dibalik proyek hasil kerjasama antara Pemerintah Kota Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) yang merupakan anak usaha Artha Graha ini terdapat kotroversi yang kian mencuat salah satunya masyarakat adat. Bagaimana tidak, daerah yang disebut Pulau Rempang ini adalah salah satu dari banyaknya daerah di Batam yang menjadi daerah sejarah bagi masyarakat Rempang.
Menurut Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Gelang, Gerisman Ahmad dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak pembangungan, tetapi menolak direlokasi. Ia mengkalim bahwa kampung ini sudah ada sejak 1834 dibawah kerajaan Riau Lingga. Sehingga daerah tersebut dianggap sakral oleh Ketua Keramat Rempang.
Proyek Rempang Eco City ini merupakan proyek yang akan dilaksanakan sampai tahun 2080 berdasarkan Memorandum of Agreement (MoA) oleh Xinyi Internasional Investment Limited dan PT Makmur Elok Graha di Chendu, China. Proyek ini didanai sekitar USD 11,6 Miliar atau Rp. 381 Triliun dan akan menyerap 306 ribu tenaga kerja yang akan berdampak kepada pertumbuhan positif ekonomi setempat.
Lantas, apa yang membuat proyek Rempang Eco City ini ditolak oleh masyarakat adat selain relokasi? Implementasi Pemerintah dalam proyek ini yang tidak Humanistik. Secara sosialis, seharusnya Pemerintah termasuk Aparatur Negara lebih Humanistik dalam melakukan implementasi program Rempang Eco City. Bagaimana tidak? sudah banyak korban yang terluka akibat pergerakan progresif yang dilakukan oleh masyarakat adat dan juga masyarakat batam lainnya untuk menolak secara tegas relokasi Rempang Eco City. Terjadinya kekerasan fisik antara aparat negara dan warga membuat tidak adanya preventif dari pemerintah kepada perlindungan masyarakat.
Padahal dalam rapat Kabinet 2019, Bapak Joko Widodo berpesan kepada kabinetnya bahwa jika ada izin konsesi dan didalamnya ada masyarakat, maka pastikan masyarakat terlindungi dan diberikan kepastian hukum. Jika perusahaan pemilik konsesi tidak memperhatikannya, maka cabut izinnya siapapun pemiliknya. Dari sudut pandang Yuridis, Pasal 33 UUD 1945 “Investasi untuk perekonomian disusun sebagai usaha bersama atas asas kekeluargaan dan melindungi tumpah darah indonesia”.
Ada juga UU Kepolisian No 2 Tahun 2002 “Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri”. Jika dilihat dari kenyataan empiris, maka sangat berbandig terbalik dengan yang ada di lapangan.
Tujuan pembangungan Rempang Eco City di Pulau Pempang dinilai positif dari perekonomian dan Development Bilateral antar negara. Tujuan pembangunan ini adalah untuk meningkatkan kawasan industri, wisata, pusat energi terbarukan yang memanfaatkan panasmatahari/Renewable Energy. Renewable Energy merupakan proses pengolahan energi solar (matahari) dari hulu ke hilir sehingga dapat mengekspor energi ke Singapura dan Negara lain. Sudah bagus jika dilihat dari pembangungan berencana yang berdampak positif kepada perekonomiannya. Namun, jika ingin diterapkan seperti itu maka pertimbangkan pelaksanaan dan juga pemahaman masyarakat adat.Mereka sudah tinggal berpuluhan tahun di pulau tersebut, namun perlakuan pemerintah terhadap masyarakat adat sama sekali tidak Humanistik. Aparat melakukan tindak kekerasan kepada masyarakat, dan pemaksaan relokasi yang sifatnya absolute tanpa memikirkan bagaimana kebiasaan yang sudah dibangun oleh masyarakat adat.
Sekitar 7 ribu lebih masyarakat dari Pulau Rempang yang direlokasi, bagaimana jika tidak adanya Humanistik yang diberlakukan oleh pemerintah? Culture Shock menjadi sebuah trauma bagi masyarakat adat karena paksaan relokasi. Bagaimana tidak, petugas gabungan TNI, Polri,Ditpam Badan Pengusahaan (BP) dan Satpol PP memaksa masuk kawasan Rempang untuk melakukan pengukuran padahal sudah tahu bahwa masih adanya penolakan.
Mengapa terburu buru dalam melakukan proyeksiasi Rempang Eco City? Kawasan tersebut bukanlah kawasan yang baru ditinggal beberapa tahun oleh masyarakat adat melainkan menjadi salah satu kawasan tertua di pulau Batam. Seharusnya ada perlindungan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat adat sesuai aturan yang sudah ditetapkan. Wajar saja, jika masyarakat menolak relokasi walaupun pemerintah sudah buatkan solusi masyarakat yang berdampak pembangunan akan dialihkan oleh pemerintah ke lokasi yang sudah disiapkan. Mendapatkan biaya hidup Rp. 1,03 juta/orang dalam satu KK dan masyarakat yang memiliki tinggal di tempat lain akan mendapatkan bantuan biaya sewa Rp. 1juta/bulan. Tetapi, Habit tobe a Cultutre mereka sudah melekat bahwa rezeki datangnya dari daerah itu.
Cobalah lebih Humanistik dalam merelokasi masyarakat adat, jangan sampai terjadi lagi pemukulan termasuk aparat negara bersenjata. Kalian dibayar oleh uang pajak masyarakat, tidak mudah melakukan pengayoman dan perlindungan disaat kepala lagi panas. Tetapi itulah tugas aparatur negara, lakukan berdasarkan aturan per Undang-Undangan. Teruntuk masyarakat adat Pulau Rempang, Bernegosiasilah secara humanistik dan hindari kekerasan fisik oleh aparatur negara. Kami berdoa dari kejauhan agar kalian tetap terjaga.
Tulisan ini oleh Rohit Rahmadani – SKM Cabang Langsa
Leave a Reply