China Memonopoli Pasar, KEMENDAG Revisi Aturan E-Commerce : Kok Bisa?

E-Commerce

E-Commerce merupakan sebuah proses penjualan dan pembelian barang secara elektronik oleh konsumen, yang merupakan transaksi business-to-business dengan menggunakan komputer sebagai wadahnya. Sehingga dengan adanya E-Commerce ini memudahkan konsumen sebagai pembeli untuk membeli barang atau jasa dan produsen sebagai penjual barang atau jasa. Namun, apa yang menyebabkan Kemendag melakukan pengusulan revisi aturan Permendag No. 50 Tahun 2020? Apakah ini preventif pemerintah untuk melindungi pedagang lokal?

Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan atau Zulhas menyebut harmonisasi revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50 Tahun 2020 tentang Perdagangan Digital akan dijadwalkan final pada 1 Agustus 2023. Zulkifli Hasan juga mengatakan “Permendag Nomor 50/2020 sudah kita bahas lama. Namanya Permendag itu kan harus diharmonisasi antar Kementerian, kita cepat, tapi yang lain kan banyak, lamban, pelan gitu ya”. Artinya pembahasan Permendag sudah dibahas oleh Pemerintah sebagai preventif untuk melindungi pedagang lokal.

Lantas, mengapa Permendagri Nomor 50 Tahun 2020 perlu direvisi? apakah pedagang lokal merasa dirugikan? oleh siapa? apa yang menjadi faktor utama direvisinya Permedag Nomor 50 Tahun 2020? Secara yuridis, Pemerintah membuat PMSE atau Peraturan Pemerintah Perdagangan Melalui Sistem ekeltronik dengan tahapan Melakukan Turunan RPP Perdagangan Melalui Sistem Elektronik menjadi beberapa poin seperti Pedaftaran Pelaku Usaha, Penyampaian/Pertukaran Data, Iklan Elektronik, Pemerdayaan UMKM, Daftar Prioritas Pengawasan dan Sanksi. Sehingga adanya kebijakan absolute pemerintah dalam melakukan tindakan preventif untuk pelaku usaha.

Faktor utama mengapa Pemendag No. 50 Tahun 2020 direvisi, dikarenakan salah satu platform media sosial sebutlah seperti Tiktok dianggap merugikan pedagang lokal. Mengapa demikian? Banyaknya exsposure dagangan yang dijual di Tiktok melejit tinggi. Dengan barang yang bervariasi, mengikuti trend dan harga yang murah membuat permintaan konsumen tinggi dan menyebabkan pedagang lokal yang tidak menggunakan platform tersebut merasa dirugikan. Bagaimana tidak, dari hasil wawancara pedagang lokal yang ada di Tanah Abang mengatakan “pendapatan setiap bulan untuk skala besar bisa sampai ratusan juta namun karena segmentasi pasar sudah beralih ke Tiktok, pendapatan kami hanya mencapai 9 juta/bulan. Justru ini membuat pedagang lokal seperti kami terdampak.

Usulan Pemerintah terhadap perlindungan pelaku usaha lokal bukan serta merta untuk membatasi nilai impor barang dari negara lain. Melainkan adanya balancing terhadap pelaku usaha lokal dan barang impor. Jika dilihat secara empiris, aplikasi yang berasal dari China ini mampu mengirim barangnya hingga ribuan bahkan puluhan ribu unit ke Indonesia setiap bulannya. Dampaknya adalah kepada pedagang lokal, yang tidak dapat bersaing secara harga dan jasa yang ditawarkan tiktok lebih mudah tanpa harus keluar rumah.

Usulan revisi Permendagri Nomor 50 Tahun 2020 berisikan, Pemerintah dalam revisi beleid tersebut berencana membatasi minimum harga produk yang bisa di impor langsung (cross border) di e-commerceI sebesar US 100 Dolar atau Rp. 1,5 juta per unit. Artinya, barang impor dibawah harga tersebut, dilarang diperdagangkan oleh penjual dari luar negri di platform e-commerce Indonesia. Kedua, Kemendag juga menetapkan persyaratan tambahan bagi pedagang luar negeri di e-commerce yang menjual produknya ke Indonesia yakni dengan memenuhi standar nasional (SNI) hingga persyaratan teknis barang atau jasa yang ditawarkan.

Sehingga sudah jelas maksud dari pemerintah adalah untuk melakukan tindakan preventif terhadap cross border dan perlindungan kepada pedagang lokal agar cash flow pedagang lokal tidak lagi menurun. Jika dilihat dari preventif yang dilakukan oleh pemerintah, sebenarnya sudah baik. Hanya saja, masih banyak kontra terhadap revisi Permendag Nomor 50 Tahun 2020 ini seperti Asosiasi Pengusaha Logistik e-commerce (APLE). APLE berencana menggugat beleid tersebut ke pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) apabila terbit tanpa mempertimbangkan aspirasi dari mereka. Ketua APLE, Sony Harsono menyebutkan bahwa pembatasan Impor (cross border) di e-commerce berisiko membuat usaha di sektor logistik terpuruk. Dampaknya, rencana pembatasan impor di e-commerce akan melemahkan ekspor UMKM akibat dari resiko aksi balas dendam negara lainnya terhadap retriksi impor yang dilakukan di Indonesia “lanjutnya”.

Perkembangan usulan Permendag Nomor 50 tahun 2020 masih dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Ham hingga saat ini. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengatakan “tidak ingin revisi aturan impor di e-commerce dilakukan secara terburu-buru, karena tidak ingin merugikan banyak aspek lainnya sehingga ini harus lebih berhati-hati”.

Sudah bagus upaya Pemerintah dalam melakukan preventif dalam mencaga balancing pasar, agar saluran pemasaran tetap terjaga baik dari pelaku usaha maupun konsumen. Sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih antara saluran pemasaran diakibatkan monopoli pasar yang dirugikan. Jika melihat dari kejadian ini, saya sudah setuju dengan pemerintah. Resolusi ini bagus, apalagi pemerintah membuat Peraturan Pemerintah Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) agar barang yang diedarkan Cina ke Indonesia bukan hanya menguntukan sepihak melainkan ada persentase keuntungan yang tidak merugikan pedagang lokal dalam negeri khususnya.

 

Tulisan ini oleh Rohit Rahmadani SKM Cabang Langsa

Slide Up
x
adbanner