Menurut Abdul Haris Djiwandono, Indonesia merupakan negara kepulauan (Archipelagic State) atau juga disebut dengan negara poros maritim. Ini artinya Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak wilayah pesisir.
Dikutip dari jurnal Jamal Fikri, Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.508 pulau dengan luas wilayah perairan laut lebih dari 75 % dan panjang garis pantai mencapai 81.000 km. Dengan demikian, pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan merupakan bagian penting dalam strategi pembangunan untuk meningkatkan daya saing nasional.
Luas daratan Indonesia mencapai 1,9 juta km2 dan luas perairan laut kurang lebih 7,9 juta km2. Sebanyak 22 persen dari total penduduk. Indonesia mendiami wilayah pesisir. Ini berarti bahwa daerah pesisir merupakan salah satu pusat kegiatan ekonomi nasional melalui kegiatan masyarakat seperti perikanan laut, perdagangan, budidaya perikanan (aquakultur), transportasi, pariwisata, pengeboran minyak dan sebagainya.
Sesuai dengan hakikat Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara hukum, pengembangan sistem Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup harus diberi dasar hukum yang jelas, tegas, dan menyeluruh guna menjamin kepastian hukum bagi upaya pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk itulah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil sebagai sebuah lex specialis dalam pengelolaan dan perlindungan wilayah pesisir dan pulau kecil di Indonesia.
Manifestasi Diri Dalam Bentuk Problem Solving Di Wilayah Pesisir
Aceh termasuk sebagian provinsi yang memiliki wilayah pesisir salah satunya terletak di Kabupaten Aceh Singkil, Pulau Banyak. Aceh Singkil adalah salah satu kabupaten di Provinsi Aceh, Indonesia. Menurut data BPS Kabupaten Aceh Singkil, wilayah ini merupakan pemekaran dari Kabupaten Aceh Selatan dan sebagian wilayahnya berada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Kabupaten ini juga terdiri dari dua wilayah, yakni daratan dan kepulauan. Kepulauan yang menjadi bagian dari kabupaten Aceh Singkil adalah Kepulauan Banyak.
Kepulauan Banyak adalah gugusan pulau-pulau kecil di Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh. Luas wilayah secara keseluruhan adalah 27,196 ha. Pulau Banyak berbatasan langsung dengan Samudra Hindia, tepatnya di ujung sebelah barat Pulau Sumatra. Sebagai daerah kepulauan, Pulau Banyak memiliki laut yang cukup luas juga pantai yang panjang dan indah.
Pada akhir tahun 2021, penulis berkesempatan untuk mengikuti kegiatan ekspedisi yang dilaksanakan oleh salah satu komunitas dari Kejar Mimpi Langsa dan ditunjuk sebagai penanggungjawab permasalahan lingkungan di daerah kepulauan banyak. Wilayah pesisir tentunya tidak lepas dari sampah, dikarenakan akses yang jauh dari perkotaan membuat pengelolaan sampah di Kepulauan Banyak mengalami hambatan salah satunya proses pengolahan sampah baik dari reduce (mengurangi), reuce (menggunakan kembali) ataupun recycle (daur ulang).
Sampah menjadi permasalahan besar khususnya adalah sampah berjenis plastik. Menurut World Wide Fund for Nature, sampah plastik paling lama terurai adalah kantong plastik dengan lama uraian 10-20 tahun, styrofoam lama uraian 50 tahun, plastik minuman selama 400 tahun dan botol plastik >1000 tahun.
Menurut SIPSN (Sumber Informasi Pengelolaan Sampan Nasional) Aceh Singkil ditahun 2022 menyimpan sampah sebanyak 1,686.30 ton dengan komposisi sampah terdiri dari sisa makanan 30%, kayu/ranting 10%, kertas karton 15%, plastik 22%, logam 2%, kain 5%, karet kulit 3%, kaca 2% dan lainnya 11%. Jika dilihat dari persentase sampah terbesar ada di sisa makanan dan plastik, dua permasalahan ini yang menjadi rumusan masalah yang dikemas dengan solusi (problem solving) di Kepulauan Banyak, Aceh Singkil.
Formula untuk menyusun rumusan masalah telah ditulis oleb penulis di artikel sebelumnya yaitu PCS + ICS. masalah di Kepulauan Bayak adalah sampah, dan data sekunder yang didapatkan dari BPS (Badan Pusat Statistik), SIPSN (Sumber Informasi Pengelolaan Sampah Nasional) dan dari data primer yang sifatnya observasi. Dalam menentukan rumusan masalah diperlukan observasi sebagai korelasi data kuantitatif dan kualitatif agar Social Condition di Kepulauan Banyak tergambarkan secara jelas.
Kepulauan Banyak didominasi oleh sampah sisa makanan yang sifatnya bisa diurai atau masuk kedalam jenis kategori sampah organik dan sampah plastik atau termasuk kedalam kategori jenis sampah anorganik (tidak bisa diurai). Dalam kesempatan ini, penulis menjabarkan kedalam dua poin pembahasan yaitu bagaimana cara untuk menemukan problem solving diantara kedua jenis sampah tersebut.
Sampah organik adalah sampah yang bisa diurai, sehingga dapat dijelaskan bahwa program yang cocok untuk diterapkan di desa yaitu memanfaatkan sampah organik (sisa makanan) menjadi pupuk organik cair yang dapat difungsikan sebagai nutrisi untuk tanaman. Pertanyaan, apakah di Kepuluan Banyak termasuk wilayah yang subur ditanami tanaman atau apakah ada masyarakat yang melakukan cocok tanam?
Menurut Badan Pusat Statistik Aceh Singkil tahun 2022, Kepulauan Banyak memiliki lahan cabai seluas 4 ha, cabai rawit 4 ha, kacang pancang 2 ha, kangkung 6 ha, ketimun 6 ha, cabai besar 12 ha dan jenis tanaman lainnya. Apalagi Kepulauan Banyak termasuk kedalam wilayaj pesisir yang menyumbang hasil buah kelapa terbanyak sehingga POC atau pupuk organik cair menjadi kegunaan penting dalam proses pertumbuhan tanaman tersebut.
Lantas, bagaimana dengan sampah yang tidak bisa di urai? Solusinya lihat dari teritorial wilayahnya. Dikarenan Kepulauan Banyak dikelilingi oleh lautan maka ada satu hal yang perlu diterapkan yaitu pengolahan sampah organik menjadi ecobrick. Kepulauan Banyak dikenal sebagai tempat atau destinasi wisata yang indah, sehingga solusi dalam pemanfaatan sampah organik ini lebih tepat diarahkan kedalam pengembangan wisata, salah satunya ecobrick.
Apa itu ecobrick? ecobrick merupakan metode yang digunakan untuk meminimalisir sampah plastik dengan media botol plastik yang diisi penuh dengan sampah anorganik bersih hingga botol tersebut benar-benar keras dan padat. Ecobrick ini digunakan sebagai karya 3 D untuk menambahkan visualisasi wilayah pesisir menjadi lebih menarik.
Ada juga program Transplantasi Terumbu Karang dari Batok Kelapa, karena kelapa sebagai komoditas unggulan kepulauan banyak sehingga penulis menemukan ide untuk melakukan transplantasi terumbu karang dari batok kelapa. Proses transplantasi ini dilakukan 3-5 bulan. Transplantasi karang dapat dilakukan untuk berbagai tujuan yaitu : (1). Untuk pemulihan kembali terumbu karang yang telah rusak (2). Untuk pemanfaatan terumbu karang secara lestari (perdagangan karang hias) (3). Untuk perluasan Terumbu Karang (4). Untuk tujuan pariwisata (5). Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan status terumbu karang (6). Untuk tujuan perikanan (7). Terumbu karang buatan; (8.) Untuk tujuan penelitian.
Dengan dilakukan transplantasi terumbu karang dari batok kelapa, maka semakin selamat biota laut dari pencemaran lingkungan yang kotor dan habitat laut terus terjaga. Alhamdulillah, program yang dibuat oleh penulis, mendapatkan penghargaan The Best Enviromental Program Kejar Mimpi Di Indonesia setelah bersaing dengan program program terbaik yang ada di 35 daerah atau komunutas kejar mimpi se Indonesia. Jaga terus kelestarian laut, demi keselamatan mahkluk laut dan ekosistemnya.
Tulisan ini oleh : Rohit Rahmadani – Aktivis Sosial
Leave a Reply