Cabang punya peranan penting dalam proses kontestasi di PB lantaran memiliki posisi sentral dalam tahapan prosedural pemilihan ketua umum pada Kongres. Selain mewakili suara penentu, cabang juga dilihat nilainya sebagai elite lokal yang dianggap sangat berpengaruh untuk mendapatkan hasil penentu menang atau kalah pada pertandingan nantinya di kongres.
Tentunya Cabang melalui ketua umum nya dinilai memiliki kekuatan mobilisasi untuk mendapat dukungan massa dari seluruh pengurusnya agar dapat mendukung ke salah satu calon kandidat tertentu.
Di mulai dari sanalah, masing-masing calon kandidat PB beserta timnya akan memulai menyiapkan papan catur nya sebelum memulai pertandingan. Ibarat papan catur tim pemenangan, kandidat ketum PB diibaratkan sebagai penahkoda menjadi raja sedangkan menteri, gajah, kuda dan benteng adalah ibarat pasukan fighter nya.
Dilangkah awal sebelum permainan dimulai tentunya masing-masing tim sudah memiliki pasukan dengar formasinya masing-masing.
Tapi biasa nya untuk memulai langkah, masing-masing pasukan kandidat harus mempunyai stok pion yang cukup sebagai syarat awal (rekomendasi) agar kemudian nantinya ketika pertandingan akan dimulai papan catur sudah siap digunakan.
Disinilah anggapan semu mengenai ketua umum cabang sebagai penguasa masing-masing daerah mulai terguncang. Sebab ia akan dipaksa menjadi pion perpanjangan tangan para kandidat calon ketua umum PB mau tidak mau atau suka tidak suka.
Bagaimana pun, cara sudut pandang dari bawah ke atas dengan cara pandang dari atas ke bawah pastinya berbeda. Beginilah jika para kandidat calon ketua umum PB beserta seluruh jajarannya di PB hanya memandang cabang hanya sebagai pion-pion yang bertebaran di masing-masing daerah.
Untuk menjadikan cabang sebagai pion nya kandidat ketua umum PB, tentunya beragam tawaran diberikan. Termasuk memberikan rasa aman perpanjangan masa jabatan, akomodasi, menjanjikan memberi kesempatan pion supaya dapat sekolah agar bisa menjadi pasukan dipapan catur seperti gajah, kuda dan benteng nantinya dipercaturan PB dan beragam tawaran-tawaran lain nya juga.
Namun jika para ketua umum cabang tak mau menjadi pion. Maka tak segan cabang akan diberikan ujian seperti digoyang, dibenturkan, dipersulit, dan berbagai cara lainnya. Namun yang paling keji adalah turut serta nya mereka menyebarkan api konflik dicabang-cabang. Dalam hal ini cabang ibarat sebuah toples yg berisi semut hitam dan semut merah di dalam nya. Mereka akan hidup berdampingan dan bekerja sama untuk terus berjalan hidup. Namun ketika toples digoncangkan, disitulah mereka akan mulai saling menyerang. Karna berpikir semut merah menyerang mereka, begitupun sebalikanya dengan semut hitam.
Begitulah bayangan perumpamaan antara pengurus cabang dan pengurus komisariat yang terjadi. Hal yang lumrah dan sering terjadi ketika masa kongres akan diadakan, bahkan puncaknya adalah pengambil alihan kekuasaan dengan cara tradisional agar di cabang-cabang bisa menjadi pion mereka nanti nya.
Pada akhirnya inilah yang disebut sebagai relasi antar cabang-kekuasaan di PB yang kemudian melahirkan elit-elit yang menjadi “anak emas” disamping menciptakan pola hubungan yang terjebak dalam kekuasaan personalistik yang mereka bungkus dengan kata “silaturahmi”.
Leave a Reply