Pancacita Hanya Menjadi Pajangan PEMDA Aceh

Pancacita Aceh

Mirza maulana presiden mahasiswa universitas sains cut nyak dhien menyatakan kekecewaanya kepada pemda aceh dan seluruh jajarannya, baik di tingkat kota, kabupaten, kecamatan maupun gampong, hal ini terjadi karena mirza menilai pemda aceh gagal mewujudkan 5 cita yang terpampang nyata di lambang pemda aceh, seperti yang kita ketahui bersama bahwa aceh memiliki lambang nya sendiri yaitu pancacita.

Pancacita adalah lima cita, yaitu keadilan, kepahlawanan, kemakmuran, kerukunan, dan kesejahteraan. Lambang Aceh berbentuk persegi lima yang menyerupai kopiah. Dalam perisai itu terdapat dacin (alat timbangan), rencong, padi, kapas, lada, cerobong pabrik, kubah masjid (diantara padi dan kapas), kitab dan kalam. Keadilan dilambangkan dengan dacin. Kepahlawanan dilambangkan dengan rencong. Kemakmuran dilambangkan dengan padi, kapas, lada, dan cerobong pabrik. Kerukunan dilambangkan dengan kubah masjid. Sedangkan kesejahteraan dilambangkan kitab dan kalam.

Namun selama lambang itu di bentuk dan di sahkan masyarakat aceh tak juga merasakan 5 cita tersebut, di lansir dari wikipedia Lambang Aceh adalah lambang yang diadopsi pada tahun 1961 melalui Peraturan Daerah No. 39 Tahun 1961 tentang Lambang Daerah Istimewa Aceh. Lambang ini memiliki semboyan Pancacita yang diambil dari bahasa Sanskerta yang berarti lima cita-cita, terhitung hingga saat ini sudah 61 tahun aceh menggunakan lambang dengan makna terbaik itu namun selama 61 tahun juga rakyat aceh tak kunjung merasakan keadilan, kemakmuran, kerukunan, kesejahteraan dan kepahlawanan.

Hingga kini nyatanya kasus HAM berat tak kunjung mendapat ke adilan, bahkan mantan Wakil Presiden Ke-10 dan Ke-12 RI Jusuf Kalla mengatakan 11 dari 15 konflik besar yang terjadi di Indonesia dan menelan ribuan nyawa masyarakat disebabkan ketidakadilan, Jusuf Kalla menyampaikan salah satu contoh dari 11 konflik besar akibat ketidakadilan itu adalah konflik di Aceh, Dari pengalaman kita berbangsa selama 77 tahun, kita memahami bahwa setidak-tidaknya ada 15 konflik besar melanda negeri ini yang menyebabkan munculnya korban seribu orang di atasnya. Dari 15 konflik itu, 11 karena ketidakadilan, yakni ketidakadilan sosial, politik, dan ekonomi,” ujar Jusuf Kalla, dikutip dari Antara, Sabtu (15/1/2022).

Terkait kesejahteraan, pemerintah aceh masih ketergantungan pada alokasi dana khusus ( Otsus ) untuk menjalankan program ekonomi, politik dan program kesejahteraan rakyat lainnya, menurut Mirza selaku presiden mahasiswa USCND Penggunaan dana otsus oleh Pemerintah tidak tepat sasaran. Akibatnya, Kita harus menanggung malu sebagai Provinsi termiskin di Sumatra.

Tercatat berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) periode Maret-September 2022, ada 15 provinsi termiskin di Indonesia. 4 di antaranya berasal dari Pulau Sumatera seperti Aceh, Bengkulu, Sumsel hingga Lampung. Pasalnya, Pada tahun 2023, Aceh hanya menerima 1 persen dana Otonomi Khusus (Otsus).Dana tersebut berasal dari platform Dana Alokasi Umum (DAU) nasional.Jika pada tahun 2022 Aceh mendapatkan Rp 7,560 triliun dana Otsus, maka tahun 2023 tinggal Rp 3,9 triliun atau setengahnya.

Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Aceh, Achris Sarwani, mengatakan, dengan turunnya dana otsus itu, tentu akan mempengaruhi jumlah anggaran yang diterima Pemerintah Aceh.Pengaruh dari pengurangan dana otsus tersebut, maka Pemerintah Aceh harus mencari solusi.Seperti mengurangi nilai SiLPA Aceh.Sebab untuk SiLPA Aceh pada tahun 2021 saja jumlah mencapai Rp 3,5 triliun.
Sumber :
( https://aceh.bpk.go.id/dana-otonomi-khusus-aceh-2023-berkurang-bank-indonesia-jangan-sampai-ada-silpa/ )

Kemudian terkait pendidikan, aceh juga masih rendah mutu pendidikannya hal itu bisa kita lihat di Hasil Lembaga Tes Masuk Perguruan Tinggi (LTMPT) tahun 2020 dan 2021, publikasi Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) secara berturut-turut menampilkan skor nilai rata-rata siswa Aceh kalah bersaing dengan siswa lain di Sumatra, Bahkan mutu pendidikan Aceh kian rendah sejajar dengan provinsi lain di kawasan timur Indonesia, seperti Maluku, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan sebagian provinsi di Sulawesi.

Jika mencermati data Neraca Pendidikan Daerah (NPD) di Web Kemendikbud menunjukkan political will yang cukup bagus terkait anggaran pendidikan Aceh tahun 2020 mencapai 3 Triliun dan kembali meningkat tahun 2021 sebesar 3.5 triliunan rupiah yang setara dengan total APBD Provinsi Bengkulu berkisar 3 triliunan.

Ironisnya anggaran yang besar belum menjamin mutu pendidikan Aceh, mengingat capaian skor kelulusan siswa Bengkulu di posisi 18 secara nasional, sedangkan skor kelulusan SBMPTN siswa Aceh peringkat 26 dari 34 provinsi Indonesia, Menyoal rendahnya mutu pendidikan Aceh, terdapat beberapa poin penting yang perlu diperhatikan karena ikut mempengaruhi mutu pendidikan Aceh, salah satunya kompetensi karna, Kompetensi pejabat publik pada level pimpinan instansi dinas pendidikan Aceh menjadi penentu keberhasilan memecahkan kompleksitas masalah pendidikan.

Tanpa kompetensi yang mumpuni, maka mustahil mutu pendidikan Aceh bisa ditingkatkan.
Dalam hadis Rasulullah Saw

“ jika suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya”.R Bukhari).
Untuk itu, figur pejabat publik mesti memiliki pemahaman holistic dan komprehensif serta memiliki track record teruji mengurusi pendidikan, Melalui kompetensi, diharapkan bakal melahirkan terobosan inovatif memecahkan kompleksitas masalah pendidikan mulai problem disparitas guru di perkotaan dengan perdesaan, problem kesejahteraan guru, sertifikasi guru yang masih terbatas, menajemen pembinaan guru yang buruk, serta manajemen sistem kontrol kinerja guru yang harus ditingkatkan agar totalitas dan fokus menjalankan tugas.

Untuk itu, diperlukan selektif menempatkan figur pejabat publik agar sesuai kompetensi dan rekam jejak yang mumpuni, Selama masih terjadi praktik gonta-ganti jabatan eselon bergantung suka dan tidak suka maka bisa dipastikan bakal tidak akan menuntaskan problem sistemik mutu pendidikan Aceh, malah akan memunculkan sikap pesimistis yang akhirnya memunculkan distrust atau hilangnya kepercayaan publik atas kinerja pemerintah.

Lalu minim nya lapangan kerja di aceh membuat pemuda pemudi aceh tak percaya diri, pdhl setiap tahunnya banyak sekali lulusan lulusan terbaik dari setiap kampus yg ada di aceh ini, namun karna minimnya lapangan pekerjaan membuat pemuda pemudi aceh harus hengkang dari tanah kelahirannya dan mencoba mencari peruntungan di kota orang, hal ini tentunya menjadi kasus yang serius bagi pemerintah aceh karna anggaran yg selama ini di kucurkan senantiasa tidak tepat sasaran sehingga angka kemiskinan juga kian meningkat, saya fikir solusi terbaik dari masalah ini ialah gunakan anggaran daerah secara selektif.

Prioritaskan untuk sektor-sektor yang pro-duktif, arahkan untuk sektor-sektor basis seperti pertanian, peternakan, perikanan, perkebunan, perdagangan/UMKM) di da-erah yang dapat menyerap tenaga kerja, maka inshallah lulusan lulusan terbaik bisa mendapatkan lapangan pekerjaan dan kemiskinan kian mengalami penurunan.

Kemudian mirza mengatakan dengan begitu kompleks nya masalah kita hari ini seharunya menjadi perhatian khusus bagi pemerintah aceh untuk secepatnya mengambil langkah serius dalam menangani hal ini, pemerintah aceh juga harus jadikan ini sebagai cerminan diri, harus berapa banyak lagi nilai nya dan harus berapa lama lagi rakyat aceh menunggu, karna 2 dari 5 pancacita saja bisa si bilang rapot merah bagi pemda aceh, karena uang segitu tak main main nilainya.

“Lebih lanjut Mirza menegaskan, “Sekali lagi, kami menunggu komitmen Pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan, Pemberdayaan ekonomi rakyat, pemajuan bidang pendidikan, dan menyelesaikan berbagai persoalan kasus HAM di aceh” Tegasnya.”

Slide Up
x
adbanner